Tak
bisa kupungkiri bahwa mataku memang sipit.
”Kalau sedang tertawa, ditinggal pergi
juga tidak tahu,” komentar Ria teman sekantorku.
Tetapi kata suamiku, mataku indah dan
lentik. Wajahku yang terlalu lonjong, mata sipit, dipadu dengan hidung yang
terlalu besar, kata suamiku justru oriental style. Namun rasanya tak ada yang
bisa dibanggakan dari wajahku.
Kutatap lagi wajah yang terpantul dalam
cermin di kamarku. Kualihkan pandanganku ke poster Agnes Monica yang terpampang
pada tanggalan dinding di sudut kamar. Wajahku semakin tampak kusam, tua dan
letih.
Tiba-tiba
lamunanku buyar oleh suara ponsel suamiku yang tertinggal di atas meja. Sebuah
pesan baru dari seseorang bernama Vika.
Kutunggu
di tempat biasa ya Beb...
Kalimat
yang pendek, namun mampu membuat perubahan besar pada rona wajahku. Kalimat
yang mampu meruntuhkan benteng pertahanan dalam hatiku. Mataku yang sipit
tampak semakin menyipit, menahan dua bulir air mata yang hampir runtuh. Bibir
tipisku merapat, menahan gejolak perasaan yang hampir meledak.
“Mama…mama di mana? Temenin Adek mewarnai
gambar dong!”
Suara
bungsuku memaksaku untuk menahan agar dua bulir itu tetap menghuni kedua sudut
pelupuk mata sipitku.
”Iya
sayang, Mama baru nyisir rambut di kamar.” Suaraku serak menahan badai dalam
dadaku.
Kuraih
2 buah kruk penyangga tubuhku yang kini semakin kurus lampai. Sejak peristiwa
kecelakaan mobil itu, duniaku hanya dibatasi oleh tembok-tembok bisu dalam
rumahku. Sementara suamiku semakin bebas terbang menikmati dunianya. Dunia
kerja adalah dunia laki-laki. Dalam agamapun laki-laki diperintahkan untuk
keluar rumah mencari nafkah bagi keluarganya.
Perlahan
kuraih buku tebal bergambar dua tangkai mawar, berjudul huruf kapital merah
menyala. INDAHNYA POLIGAMI.
Kembali
aku terkepung dalam kesunyian empat dinding yang membatasi kamarku. Kutatap
nanar wajah dalam layar laptop itu. Seulas wajah cantik dengan sepasang mata
belok nan indah. Rambutnya yang ikal mayang kemerahan tergerai lembut menutupi bahunya. Hidungnya yang tak seberapa
mancung berpadu harmonis dengan sepasang pipi yang putih, berhiaskan tahi lalat
kecil di sudut bibir.
Senyum
itu merekah indah, seolah terlahir dari sepasang bibir yang tak berdosa. Namun
di mataku yang sedang dilanda api cemburu, senyum itu seolah mengejekku dan
berkata, ”cantik ya wajahku? Lebih muda dari kamu kan? Makanya jangan heran
kalau suamimu tergoda...”
Verika
Yohanida, nama si pemilik wajah sekaligus pemilik akun facebook itu. Nama itu aku dapatkan dari Lani, teman sekantor
suamiku. Setelah mati-matian aku mencari informasi ke sana ke mari, akhirnya
info itu keluar dari bibir Lani tadi pagi.
”Anak
baru di kantor Na, single parent dengan satu balita. Dosen muda pindahan dari
Bandung. Vika ibarat seekor menjangan muda yang lincah, setiap hari memamerkan
keindahan dan kehangatan bulu-bulunya.”
Kubayangkan
mulut Lani yang berbusa-busa sambil memegang BB kesayangannya di seberang sana.
”Cantik
ya Lan?” Suaraku seperti tercekat di tenggorokan.
”Huuuh...karena
ia menjadi yang termuda saja di kantor. Sebenarnya sih biasa-biasa saja. Kalau
dibandingin sama kamu dulu sih jauh Na. Kamu kan ibaratnya burung merak yang
angkuh, sehingga Mas Valdi tertantang untuk menakhlukkanmu. Vika lain Na, ia
sangat agresif. Makanya, jadi istri itu
jangan terlalu cool and jangan terlalu percaya sama yang
namanya laki-laki, you know?”
Kembali
suara Lani terdengar seperti berondongan peluru dari senapan seorang teroris.
Dan hatiku telah terkena teror Lani.
”Iya
juga ya Lan, apalagi burung merak itu sekarang sudah berubah menjadi seekor
burung unta yang rapuh,” kutahan isakku.
”Makanya
Na, aku bilang juga apa? Dulu
kamu tidak mengikuti saranku sih. Kan aku bilang, di dunia ini cuma ada dua type laki-laki. Kalau bukan
playboy ya maho alias manusia homo. Harusnya kamu sudah minta cerai dari dulu,
Na...”
”Sudah ya Lan, aku mau istirahat dulu.”
”Loh..loh...Reina,
jangan ditutup dulu, hey...”
Klik.
Kututup
layar ponselku, untuk kemudian membuka laptopku. Berselancar di dunia maya
telah menjadi kegiatan rutinku akhir-akhir ini, sejak aku mengajukan cuti
panjang ke kantor karena sakit.
Ternyata
menemukan akun facebook bernama
Verika Yohanida dengan ciri-ciri fisik seperti yang digambarkan Lani tidaklah
terlalu sulit.
Tuhan,
akankah Vika menjadi maduku? Mampukah aku ikhlas berbagi cinta Mas Valdi
dengannya, setelah aku menyadari kekuranganku sebagai seorang istri?
Kuambil
lembar tissue yang entah keberapa, untuk menghalau air bening yang terus
menganak sungai dikedua pipiku.
Kafe
Segara masih agak sepi. Baru tiga meja yang kelihatan berpenghuni. Sengaja aku
memilih meja paling sudut di ruang kafe sebelah dalam, di dekat rimbunan pohon
Me Hwa. Semburat merah muda daun pohon Im Lek itu sedikit menyamarkan
kehadiranku yang juga memakai gaun bernuansa pink.
Tentunya
aku tak ingin mendapat tatapan keheranan
apalagi pertanyaan yang mengusik, seandainya ada kerabat atau kenalan yang
melihat. Apalagi dengan kondisi kakiku yang untuk berjalan saja membutuhkan
bantuan sepasang kruk.
Kami bertiga duduk berhadapan ditemani 3 gelas
minuman yang belum sempat kami sentuh. Kutatap sekilas perempuan di depanku.
Kecantikan yang misterius, seperti kecantikan artis Suzana yang beraura mistik.
Baju gipsi longgar yang dikenakannya semakin mempertegas kesan yang kutangkap.
Madame Karen. Setelah setengah mati aku mencoba menolak ajakan Lani untuk
menemuinya, akhirnya pagi ini aku luluh juga.
Perlahan kutarik salah satu
kartu dari pegangan Madame Karen.
”What...? Oh My God, kartu
ini!”
“Ya Madame, artinya?” Aku bertanya
tak sabar.
“Ada seseorang dalam kehidupan
suamimu saat ini. Women, dan
usianya relatif masih muda.”
”Tapi Madame...” tukasku.
“Sebentar…sebentar…”
Kembali kunikmati lagi kelincahan jari jemari dari sepasang tangan Madame
Karen yang menari-nari memainkan segenggam kartu tarot.
“Coba, ambil sekali lagi!”
Satu detik, dua detik aku dicekam keraguan. Perlahan kutolehkan kepalaku ke samping, meminta
persetujuan Lani.
”Ayo Na, jangan ragu!” bisik
Lani.
Kutarik satu kartu dengan
cepat, tanpa berpikir lagi.
”Stop! Coba bawa kemari!”
Teriakan Madame Karen sedikit
mengagetkanku.
”Hmm... Setidaknya dua bulan
ke depan harus membangun power diri kalau mau menang. Atau kau akan kehilangan
suamimu selama-lamanya.”
”Maksud Madame?” tukas Lani
tak sabar.
”Tinggal siapa pengaruhnya
yang lebih kuat. Reina atau perempuan itu.”
Lani mengangguk-angguk puas.
Aku terdiam. Anganku menerawang dalam bimbang.
”Aku ingin pulang, tolong
kembalikan aku ke rumah orang tuaku,” kataku terbata-bata.
”Ada apa lagi Reina?”
Mas Valdi menjawab tanpa
menoleh. Ia tetap sibuk memilah-milah buku di rak.
”Aku hanya merepotkanmu saja,
aku bukan istri yang sempurna,” jawabku.
Mas Valdi menghentikan
kesibukannya. Ditatapnya wajahku dengan kening berkerinyit, ”aku tahu keadaanmu
telah membuatmu terpuruk. Tapi please,
berpikirlah dengan jernih Reina, bagaimana dengan anak-anak kita?”
”Anak-anak ikut bersamaku, toh
kamu sudah memiliki penggantiku.”
”Maksudmu?”
”Jangan dikira aku tidak tahu
apa-apa karena kakiku tidak bisa melangkah kemana-mana Mas.” Olala...mendung di
wajahku sebentar lagi akan turun menjadi gerimis tampaknya. Tanda-tandanya
sudah terbaca dari suaraku yang serak parau.
”Tidak, kamu istriku dan kamu
harus tetap di sini, titik. Siapa yang telah menghasutmu sehingga menuduhku
yang tidak-tidak?” Suara Mas Valdi mulai meninggi.
”Lani...”
”Lagi-lagi Lani. Dua tahun
yang lalu kamu mau minta cerai juga karena hasutan Lani. Apa sih maunya perawan
tua itu?”
”Tapi kali ini Lani benar Mas,
aku memang layak kau singkirkan,” isakku menahan gemuruh dalam dadaku.
”Ya terserah kamu, mau
mempercayai suamimu atau kata-kata Lani,” kata Mas Valdi menutup pembicaraan. Laki-laki
selalu begitu. Tidak pernah mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Atau
seringkali malah mencoba menutupinya. Mas Valdi kembali tenggelam dalam buku
yang dibacanya. Aku tenggelam dalam lautan duka yang kuciptakan sendiri.
”Adek sedang menggambar apa?”
tanyaku pada Naura yang asyik menggambar.
”Menggambar rumah, Ma...”
jawab bungsuku tanpa mengalihkan pandangan matanya dari kertas gambar.
Kucermati gambar rumah dan pohon yang sedang digambar Naura. Aku terhenyak.
Begitu jauh jarak antara rumah dan pohon itu. Menurut ilmu psikologi anak yang
pernah aku baca, rumah dan pohon yang digambarkan seorang anak kecil itu mencerminkan
perasaan si anak terhadap hubungan antara ayah dan ibunya. Jadi....
”Mengapa rumah sama pohonnya
berjauhan, Sayang?” tanyaku hati-hati.
”Memangnya harus deketan ya
Ma, rumah sama pohonnya?” Naura malah balik bertanya sambil menatapku. Upss...terlambat.
Aku tak bisa menyembunyikan kedua mataku yang mulai membasah.
”Tuh kan, Mama nangis lagi?
Mama sama Papa sekarang aneh ...”
”Mama nggak nangis Sayang, Mama
Cuma kelilipan. Aneh kenapa?” tanyaku.
”Mama jadi sering menangis.
Papa jadi suka pergi...”
”Mama sedih, karena penyakit
Mama tidak sembuh-sembuh. Papa sering pergi, mencari uang yang banyak untuk
pengobatan Mama,” jawabku diplomatis.
”Tapi Papa sama Mama tidak
akan berpisah kan?” tanya Naura tiba-tiba.
“Hus….kenapa kamu bertanya
seperti itu, siapa yang bilang?” tanyaku kaget.
”Bibik yang bilang. Katanya
Papa dan Mama mau berpisah, tidak serumah lagi,” kata Naura polos. Aku menyesali
sikap Bik Sumi yang sok ikut campur urusanku.
”Tidak Sayang, Mama sama Papa
cuma sedang berselisih, seperti Adek sama Kak Nizar,” jawabku mencoba bijak.
”Tapi Adek sama Kak Nizar
cepet baikannya. Mama cepet baikan dong sama Papa. Adek suka kangen, kalau Papa pergi terlalu lama,”
kata Naura. Tangan mungilnya
mengguncang-guncang pahaku.
”Iya, Sayang...” kuraih
kepalanya, kuciumi kedua pipinya yang montok.
Rindu adalah sesuatu yang
menguarkan wangi batang Pinus merkusi
dari puncak-puncak gunung berkanopi kabut. Rindu juga melahirkan kilau terindah
dari pantulan matahari pada permukaan sungai yang mengalir tenang. Meski
abstrak, rindu setiap saat selalu menyentuh sel-sel syaraf sensori di setiap
inchi tubuhku. Gelegaknya dibawa oleh milyaran reseptor menuju ke otak,
menyentak keluar setiap kenangan indah masa silam yang selama ini tersimpan
rapi dalam lokus-lokus otakku.
Justru disaat tegur sapa
antara aku dengan Mas Valdi terhalang oleh rasa ego masing-masing, rindu itu
demikian terasa. Setiap peristiwa silih berganti menguasai anganku, bagai
serentetan adegan film terbaik dengan aku sendiri dan Mas Valdi sebagai pemeran
utamanya. Betapa aku ingin memutar kembali sang waktu, agar aku kembali menjadi
Reina yang sempurna, dan Mas Valdi kembali menjadi suamiku yang romantis dan
mempunyai cinta yang utuh hanya untukku.
”Pergi dulu,” pamitnya
singkat. Tangan kanannya menarik pegangan koper.
”Ke mana?” tanyaku tak kalah
singkat.
”Seminar, 3 hari di Yogya. Nanin sudah kuhubungi dan dia bersedia
menemanimu.”
”Ya,” jawabku pendek.
”Titip jagain anak-anak ya!”
”Ya,” kembali aku menjawab
pendek.
Tak ada salam, apalagi cium
kening. Kebiasaan kecil itu seolah menguap begitu saja. Hanya derum Avanza yang
terdengar pongah meninggalkan garasi rumah. Untuk kemudian sepi.
Warna-warni biasan sinar
mentari menerobos pucuk-pucuk pinus, terus berpendar ke bawah menghasilkan
warna merah jingga sampai ungu keputihan. Kabut tipis perlahan naik, merayapi
dahan-dahan lalu bersemayam melingkupi rimbun dedaunan. Bunga-bunga yang sedang
bermekaran terhampar di atas rumput hijau, di mana aku sedang menjejakkan kedua
kakiku. Wahai...aku bisa berdiri di atas kedua kakiku tanpa bantuan alat
apapun. Mukjizat. Kulangkahkan kakiku perlahan, lalu semakin cepat, hingga
setengah berlari. Tuhan, aku benar-benar telah sembuh.
Langkahku terhenti saat aku melihat sinar
keperakan yang memantul dari permukaan sebuah sungai. Airnya amat jernih,
sehingga aku bisa menikmati keindahan ratusan ikan yang berenang-renang di
dalamnya.
Tiba-tiba kulihat sebuah
perahu yang sedang berlayar. Perahu dengan layar putih yang terkembang penuh. Di atas buritan, sesosok
lelaki sedang melambaikan tangannya ke arahku. Lelaki yang wajahnya sangat aku
kenal. Yah, laki-laki itu ternyata Mas Valdi. Dari tepian sungai, aku berlari
sekencang mungkin mengejar perahu itu. Kuteriakkan nama Mas Valdi berulang kali,
sambil terus berlari. Tetapi perahu itu semakin menjauh dan akhirnya hilang di
kelokan sungai.
”Mbak....Mbak Reina, bangun
Mbak.” Pagi yang menggigil, ketika kudengar suara Nanin yang menarikku dari
buaian mimpi.
”Ada telepon dari Magelang.”
”Dari Magelang? Dari siapa?”
”Katanya dari Pak Samsul. Mbak kenal?”
”Oh, Pak Samsul, teman Mas Valdi di kantor.”
Kupegang gagang telepon dengan
tangan gemetar. Perasaanku mendadak jauh dari nyaman. Setelah 2 hari aku
diacuhkan tanpa ada sms, e-mail apalagi telepon, kenapa sepagi ini ada telepon
dari teman sekantornya.
”Bu Valdi?”
”Iya Pak, saya sendiri.”
”Ibu yang tabah ya, kemarin
Bapak mengalami musibah saat berarung jeram di Kali Elo. Hujan turun tiba-tiba membawa ribuan kubik pasir
saat terjadi banjir lahar dingin...”
Wangi batang Pinus merkusii dari puncak gunung
berkanopi kabut tiba-tiba menyergap hidungku. Begitu cepatnya wangi itu
menyeretku pada kegelapan palung sungai yang paling dalam. Gelap dan sepi.
”Siapa namamu?”
”Vika Pramesti Wardani, Bu”
Kutatap gadis belasan tahun
itu dengan kening berkerinyit. Wajahnya jauh berbeda dari profil picture yang terpampang pada akun facebook Verika Yohanida.
”Kenapa bisa kenal Bapak?
Maksud saya, di mana?”
”Saya murid les Pak Valdi, Bu.
Ingin mengucapkan duka cita
yang mendalam atas kepergian Bapak.”
”Maaf, seingat saya Pak Valdi
tidak pernah punya murid les, apalagi anak SMA?”
”Saya mewakili Indonesia, mengikuti
olimpiade matematika di Hamburg Bu. Sekolah saya menyerahkan pembimbingan saya kepada Universitas di mana Pak Valdi
mengajar, dan Pak Valdi yang ditunjuk sebagai tutor.”
”Bapak tidak pernah cerita.”
”Saya juga mau minta maaf
kepada Ibu.”
”Untuk apa?”
”Saya pernah salah kirim sms
ke ponsel Bapak, karena nama Bapak hampir mirip dengan nama pacar saya.”
”Oh, jadi kamu... Vika?”
Tiba-tiba ingatanku melayang
kepada sebuah sms pendek yang menjadi pangkal pertikaian panjangku dengan
suamiku. Setelah kuingat-ingat kembali, dari Civitas Akademika tempat suamiku
bekerja tak ada seorangpun yang bernama Verika Yohanida yang datang melayat.
Ternyata nama itu hanyalah bualan Lani, yang menginginkan keluargaku hancur.
Sesal selalu datang terlambat.
Sungai itu telah menelan segenap harapanku untuk bisa kembali bersatu dengan
Mas Valdi, bahkan untuk sekedar minta maaf. Sungai yang melahirkan kilau terindah dari
pantulan matahari pada permukaannya. Namun kini, sungai itu telah meluapkan airnya hingga menciptakan jejak
kelam.
TAMAT
3 comments
Bagusssss,,endingnya diluar perkiraan at๐
Bagusssss,,endingnya diluar perkiraan at๐
Syukaaa