Blog Untuk Informasi, serta untuk membatu mengerjakan tugas sekolah anda

Rangkuman Cerpen Majalah Kartini (Wanita Lain Suamiku)

Rangkuman Cerpen Majalah Kartini (Wanita Lain Suamiku)

            Tak bisa kupungkiri bahwa mataku memang sipit.
            ”Kalau sedang tertawa, ditinggal pergi juga tidak tahu,” komentar Ria teman sekantorku.
            Tetapi kata suamiku, mataku indah dan lentik. Wajahku yang terlalu lonjong, mata sipit, dipadu dengan hidung yang terlalu besar, kata suamiku justru oriental style. Namun rasanya tak ada yang bisa dibanggakan dari wajahku.
            Kutatap lagi wajah yang terpantul dalam cermin di kamarku. Kualihkan pandanganku ke poster Agnes Monica yang terpampang pada tanggalan dinding di sudut kamar. Wajahku semakin tampak kusam, tua dan letih.
            Tiba-tiba lamunanku buyar oleh suara ponsel suamiku yang tertinggal di atas meja. Sebuah pesan baru dari seseorang bernama Vika.
            Kutunggu di tempat biasa ya Beb...                      
            Kalimat yang pendek, namun mampu membuat perubahan besar pada rona wajahku. Kalimat yang mampu meruntuhkan benteng pertahanan dalam hatiku. Mataku yang sipit tampak semakin menyipit, menahan dua bulir air mata yang hampir runtuh. Bibir tipisku merapat, menahan gejolak perasaan yang hampir meledak.
            “Mama…mama di mana? Temenin Adek mewarnai gambar dong!”
            Suara bungsuku memaksaku untuk menahan agar dua bulir itu tetap menghuni kedua sudut pelupuk mata sipitku.
            ”Iya sayang, Mama baru nyisir rambut di kamar.” Suaraku serak menahan badai dalam dadaku.
            Kuraih 2 buah kruk penyangga tubuhku yang kini semakin kurus lampai. Sejak peristiwa kecelakaan mobil itu, duniaku hanya dibatasi oleh tembok-tembok bisu dalam rumahku. Sementara suamiku semakin bebas terbang menikmati dunianya. Dunia kerja adalah dunia laki-laki. Dalam agamapun laki-laki diperintahkan untuk keluar rumah mencari nafkah bagi keluarganya.
            Perlahan kuraih buku tebal bergambar dua tangkai mawar, berjudul huruf kapital merah menyala. INDAHNYA POLIGAMI.
            Kembali aku terkepung dalam kesunyian empat dinding yang membatasi kamarku. Kutatap nanar wajah dalam layar laptop itu. Seulas wajah cantik dengan sepasang mata belok nan indah. Rambutnya yang ikal mayang kemerahan tergerai lembut  menutupi bahunya. Hidungnya yang tak seberapa mancung berpadu harmonis dengan sepasang pipi yang putih, berhiaskan tahi lalat kecil di sudut bibir.
            Senyum itu merekah indah, seolah terlahir dari sepasang bibir yang tak berdosa. Namun di mataku yang sedang dilanda api cemburu, senyum itu seolah mengejekku dan berkata, ”cantik ya wajahku? Lebih muda dari kamu kan? Makanya jangan heran kalau suamimu tergoda...”
            Verika Yohanida, nama si pemilik wajah sekaligus pemilik akun facebook itu. Nama itu aku dapatkan dari Lani, teman sekantor suamiku. Setelah mati-matian aku mencari informasi ke sana ke mari, akhirnya info itu keluar dari bibir Lani tadi pagi.
            ”Anak baru di kantor Na, single parent dengan satu balita. Dosen muda pindahan dari Bandung. Vika ibarat seekor menjangan muda yang lincah, setiap hari memamerkan keindahan dan kehangatan bulu-bulunya.”
            Kubayangkan mulut Lani yang berbusa-busa sambil memegang BB kesayangannya di seberang sana.
            ”Cantik ya Lan?” Suaraku seperti tercekat di tenggorokan.
            ”Huuuh...karena ia menjadi yang termuda saja di kantor. Sebenarnya sih biasa-biasa saja. Kalau dibandingin sama kamu dulu sih jauh Na. Kamu kan ibaratnya burung merak yang angkuh, sehingga Mas Valdi tertantang untuk menakhlukkanmu. Vika lain Na, ia sangat agresif. Makanya, jadi istri  itu jangan terlalu cool and jangan terlalu percaya sama yang namanya laki-laki, you know?”
            Kembali suara Lani terdengar seperti berondongan peluru dari senapan seorang teroris. Dan hatiku telah terkena teror Lani.
            ”Iya juga ya Lan, apalagi burung merak itu sekarang sudah berubah menjadi seekor burung unta yang rapuh,” kutahan isakku.
            ”Makanya Na, aku bilang juga apa? Dulu kamu tidak mengikuti saranku sih. Kan aku bilang, di dunia ini cuma ada dua type laki-laki. Kalau bukan playboy ya maho alias manusia homo. Harusnya kamu sudah minta cerai dari dulu, Na...”
            ”Sudah ya Lan, aku mau istirahat dulu.”
            ”Loh..loh...Reina, jangan ditutup dulu, hey...”
            Klik.
            Kututup layar ponselku, untuk kemudian membuka laptopku. Berselancar di dunia maya telah menjadi kegiatan rutinku akhir-akhir ini, sejak aku mengajukan cuti panjang ke kantor karena sakit.
            Ternyata menemukan akun facebook bernama Verika Yohanida dengan ciri-ciri fisik seperti yang digambarkan Lani tidaklah terlalu sulit.
            Tuhan, akankah Vika menjadi maduku? Mampukah aku ikhlas berbagi cinta Mas Valdi dengannya, setelah aku menyadari kekuranganku sebagai seorang istri?
            Kuambil lembar tissue yang entah keberapa, untuk menghalau air bening yang terus menganak sungai dikedua pipiku.
            Kafe Segara masih agak sepi. Baru tiga meja yang kelihatan berpenghuni. Sengaja aku memilih meja paling sudut di ruang kafe sebelah dalam, di dekat rimbunan pohon Me Hwa. Semburat merah muda daun pohon Im Lek itu sedikit menyamarkan kehadiranku yang juga memakai gaun bernuansa pink.
            Tentunya aku tak ingin mendapat  tatapan keheranan apalagi pertanyaan yang mengusik, seandainya ada kerabat atau kenalan yang melihat. Apalagi dengan kondisi kakiku yang untuk berjalan saja membutuhkan bantuan sepasang kruk.
            Kami bertiga duduk berhadapan ditemani 3 gelas minuman yang belum sempat kami sentuh. Kutatap sekilas perempuan di depanku. Kecantikan yang misterius, seperti kecantikan artis Suzana yang beraura mistik. Baju gipsi longgar yang dikenakannya semakin mempertegas kesan yang kutangkap. Madame Karen. Setelah setengah mati aku mencoba menolak ajakan Lani untuk menemuinya, akhirnya pagi ini aku luluh juga.
Perlahan kutarik salah satu kartu dari pegangan Madame Karen.
What...? Oh My God, kartu ini!”
“Ya Madame, artinya?” Aku bertanya tak sabar.
“Ada seseorang dalam kehidupan suamimu saat ini. Women, dan usianya relatif masih muda.”
”Tapi Madame...” tukasku.
“Sebentar…sebentar…”
Kembali kunikmati lagi kelincahan jari jemari dari sepasang tangan Madame Karen yang menari-nari memainkan segenggam kartu tarot.
“Coba, ambil sekali lagi!”
Satu detik, dua detik aku dicekam keraguan. Perlahan kutolehkan kepalaku ke samping, meminta persetujuan Lani.
”Ayo Na, jangan ragu!” bisik Lani.
Kutarik satu kartu dengan cepat, tanpa berpikir lagi.
”Stop! Coba bawa kemari!”
Teriakan Madame Karen sedikit mengagetkanku.
”Hmm... Setidaknya dua bulan ke depan harus membangun power diri kalau mau menang. Atau kau akan kehilangan suamimu selama-lamanya.”
”Maksud Madame?” tukas Lani tak sabar.
”Tinggal siapa pengaruhnya yang lebih kuat. Reina atau perempuan itu.”
Lani mengangguk-angguk puas. Aku terdiam. Anganku menerawang dalam bimbang.
”Aku ingin pulang, tolong kembalikan aku ke rumah orang tuaku,” kataku terbata-bata.
”Ada apa lagi Reina?”
Mas Valdi menjawab tanpa menoleh. Ia tetap sibuk memilah-milah buku di rak.
”Aku hanya merepotkanmu saja, aku bukan istri yang sempurna,” jawabku.
Mas Valdi menghentikan kesibukannya. Ditatapnya wajahku dengan kening berkerinyit, ”aku tahu keadaanmu telah membuatmu terpuruk. Tapi please, berpikirlah dengan jernih Reina, bagaimana dengan anak-anak kita?”
”Anak-anak ikut bersamaku, toh kamu sudah memiliki penggantiku.”
”Maksudmu?”
”Jangan dikira aku tidak tahu apa-apa karena kakiku tidak bisa melangkah kemana-mana Mas.” Olala...mendung di wajahku sebentar lagi akan turun menjadi gerimis tampaknya. Tanda-tandanya sudah terbaca dari suaraku yang serak parau.
”Tidak, kamu istriku dan kamu harus tetap di sini, titik. Siapa yang telah menghasutmu sehingga menuduhku yang tidak-tidak?” Suara Mas Valdi mulai meninggi.
”Lani...”
”Lagi-lagi Lani. Dua tahun yang lalu kamu mau minta cerai juga karena hasutan Lani. Apa sih maunya perawan tua itu?”
”Tapi kali ini Lani benar Mas, aku memang layak kau singkirkan,” isakku menahan gemuruh dalam dadaku.
”Ya terserah kamu, mau mempercayai suamimu atau kata-kata Lani,” kata Mas Valdi menutup pembicaraan. Laki-laki selalu begitu. Tidak pernah mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Atau seringkali malah mencoba menutupinya. Mas Valdi kembali tenggelam dalam buku yang dibacanya. Aku tenggelam dalam lautan duka yang kuciptakan sendiri.
”Adek sedang menggambar apa?” tanyaku pada Naura yang asyik menggambar.
”Menggambar rumah, Ma...” jawab bungsuku tanpa mengalihkan pandangan matanya dari kertas gambar. Kucermati gambar rumah dan pohon yang sedang digambar Naura. Aku terhenyak. Begitu jauh jarak antara rumah dan pohon itu. Menurut ilmu psikologi anak yang pernah aku baca, rumah dan pohon yang digambarkan seorang anak kecil itu mencerminkan perasaan si anak terhadap hubungan antara ayah dan ibunya. Jadi....
”Mengapa rumah sama pohonnya berjauhan, Sayang?” tanyaku hati-hati.
”Memangnya harus deketan ya Ma, rumah sama pohonnya?” Naura malah balik bertanya sambil menatapku. Upss...terlambat. Aku tak bisa menyembunyikan kedua mataku yang mulai membasah.
”Tuh kan, Mama nangis lagi? Mama sama Papa sekarang aneh ...”
”Mama nggak nangis Sayang, Mama Cuma kelilipan. Aneh kenapa?” tanyaku.
”Mama jadi sering menangis. Papa jadi suka pergi...”
”Mama sedih, karena penyakit Mama tidak sembuh-sembuh. Papa sering pergi, mencari uang yang banyak untuk pengobatan Mama,” jawabku diplomatis.
”Tapi Papa sama Mama tidak akan berpisah kan?” tanya Naura tiba-tiba.
“Hus….kenapa kamu bertanya seperti itu, siapa yang bilang?” tanyaku kaget.
”Bibik yang bilang. Katanya Papa dan Mama mau berpisah, tidak serumah lagi,” kata Naura polos. Aku menyesali sikap Bik Sumi yang sok ikut campur urusanku.
”Tidak Sayang, Mama sama Papa cuma sedang berselisih, seperti Adek sama Kak Nizar,” jawabku mencoba bijak.
”Tapi Adek sama Kak Nizar cepet baikannya. Mama cepet baikan dong sama Papa. Adek suka kangen, kalau Papa pergi terlalu lama,” kata Naura. Tangan mungilnya mengguncang-guncang pahaku.
”Iya, Sayang...” kuraih kepalanya, kuciumi kedua pipinya yang montok.
Rindu adalah sesuatu yang menguarkan wangi batang Pinus merkusi dari puncak-puncak gunung berkanopi kabut. Rindu juga melahirkan kilau terindah dari pantulan matahari pada permukaan sungai yang mengalir tenang. Meski abstrak, rindu setiap saat selalu menyentuh sel-sel syaraf sensori di setiap inchi tubuhku. Gelegaknya dibawa oleh milyaran reseptor menuju ke otak, menyentak keluar setiap kenangan indah masa silam yang selama ini tersimpan rapi dalam lokus-lokus otakku.
Justru disaat tegur sapa antara aku dengan Mas Valdi terhalang oleh rasa ego masing-masing, rindu itu demikian terasa. Setiap peristiwa silih berganti menguasai anganku, bagai serentetan adegan film terbaik dengan aku sendiri dan Mas Valdi sebagai pemeran utamanya. Betapa aku ingin memutar kembali sang waktu, agar aku kembali menjadi Reina yang sempurna, dan Mas Valdi kembali menjadi suamiku yang romantis dan mempunyai cinta yang utuh hanya untukku.
”Pergi dulu,” pamitnya singkat. Tangan kanannya menarik pegangan koper.
”Ke mana?” tanyaku tak kalah singkat.
”Seminar, 3 hari di Yogya. Nanin sudah kuhubungi dan dia bersedia menemanimu.”
”Ya,” jawabku pendek.
”Titip jagain anak-anak ya!”
”Ya,” kembali aku menjawab pendek.
Tak ada salam, apalagi cium kening. Kebiasaan kecil itu seolah menguap begitu saja. Hanya derum Avanza yang terdengar pongah meninggalkan garasi rumah. Untuk kemudian sepi.
Warna-warni biasan sinar mentari menerobos pucuk-pucuk pinus, terus berpendar ke bawah menghasilkan warna merah jingga sampai ungu keputihan. Kabut tipis perlahan naik, merayapi dahan-dahan lalu bersemayam melingkupi rimbun dedaunan. Bunga-bunga yang sedang bermekaran terhampar di atas rumput hijau, di mana aku sedang menjejakkan kedua kakiku. Wahai...aku bisa berdiri di atas kedua kakiku tanpa bantuan alat apapun. Mukjizat. Kulangkahkan kakiku perlahan, lalu semakin cepat, hingga setengah berlari. Tuhan, aku benar-benar telah sembuh.
 Langkahku terhenti saat aku melihat sinar keperakan yang memantul dari permukaan sebuah sungai. Airnya amat jernih, sehingga aku bisa menikmati keindahan ratusan ikan yang berenang-renang di dalamnya.
Tiba-tiba kulihat sebuah perahu yang sedang berlayar. Perahu dengan layar putih yang terkembang penuh. Di atas buritan, sesosok lelaki sedang melambaikan tangannya ke arahku. Lelaki yang wajahnya sangat aku kenal. Yah, laki-laki itu ternyata Mas Valdi. Dari tepian sungai, aku berlari sekencang mungkin mengejar perahu itu. Kuteriakkan nama Mas Valdi berulang kali, sambil terus berlari. Tetapi perahu itu semakin menjauh dan akhirnya hilang di kelokan sungai.
”Mbak....Mbak Reina, bangun Mbak.” Pagi yang menggigil, ketika kudengar suara Nanin yang menarikku dari buaian mimpi.
”Ada telepon dari Magelang.”
”Dari Magelang? Dari siapa?”
”Katanya dari Pak Samsul. Mbak kenal?”
”Oh, Pak Samsul, teman Mas Valdi di kantor.”
Kupegang gagang telepon dengan tangan gemetar. Perasaanku mendadak jauh dari nyaman. Setelah 2 hari aku diacuhkan tanpa ada sms, e-mail apalagi telepon, kenapa sepagi ini ada telepon dari teman sekantornya.
”Bu Valdi?”
”Iya Pak, saya sendiri.”
”Ibu yang tabah ya, kemarin Bapak mengalami musibah saat berarung jeram di Kali Elo. Hujan turun tiba-tiba membawa ribuan kubik pasir saat terjadi banjir lahar dingin...”
Wangi batang Pinus merkusii dari puncak gunung berkanopi kabut tiba-tiba menyergap hidungku. Begitu cepatnya wangi itu menyeretku pada kegelapan palung sungai yang paling dalam. Gelap dan sepi.
”Siapa namamu?”
”Vika Pramesti Wardani, Bu”
Kutatap gadis belasan tahun itu dengan kening berkerinyit. Wajahnya jauh berbeda dari profil picture yang terpampang pada akun facebook Verika Yohanida.
”Kenapa bisa kenal Bapak? Maksud saya, di mana?”
”Saya murid les Pak Valdi, Bu. Ingin mengucapkan duka cita yang mendalam atas kepergian Bapak.”
”Maaf, seingat saya Pak Valdi tidak pernah punya murid les, apalagi anak SMA?”
”Saya mewakili Indonesia, mengikuti olimpiade matematika di Hamburg Bu. Sekolah saya menyerahkan pembimbingan saya kepada Universitas di mana Pak Valdi mengajar, dan Pak Valdi yang ditunjuk sebagai tutor.”
”Bapak tidak pernah cerita.”
”Saya juga mau minta maaf kepada Ibu.”
”Untuk apa?”
”Saya pernah salah kirim sms ke ponsel Bapak, karena nama Bapak hampir mirip dengan nama pacar saya.”
”Oh, jadi kamu... Vika?”
Tiba-tiba ingatanku melayang kepada sebuah sms pendek yang menjadi pangkal pertikaian panjangku dengan suamiku. Setelah kuingat-ingat kembali, dari Civitas Akademika tempat suamiku bekerja tak ada seorangpun yang bernama Verika Yohanida yang datang melayat. Ternyata nama itu hanyalah bualan Lani, yang menginginkan keluargaku hancur.
Sesal selalu datang terlambat. Sungai itu telah menelan segenap harapanku untuk bisa kembali bersatu dengan Mas Valdi, bahkan untuk sekedar minta maaf. Sungai yang melahirkan kilau terindah dari pantulan matahari pada permukaannya. Namun kini, sungai itu telah meluapkan airnya hingga menciptakan jejak kelam.
TAMAT      

mas andes

Author :

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit, sed diam nonummy nibh euismod tincidunt ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat. Ut wisi enim ad minim veniam, quis nostrud exerci tation ullamcorper suscipit. Terimakasih atas kunjungannya brother yang baru saja membaca artikel berjudul Rangkuman Cerpen Majalah Kartini (Wanita Lain Suamiku).
Share Artikel

Artikel Terkait

3 comments

Bagusssss,,endingnya diluar perkiraan at๐Ÿ˜ƒ

Bagusssss,,endingnya diluar perkiraan at๐Ÿ˜ƒ